Jakarta – Sejumlah aktivis dan pegiat HAM menggelar konferensi pers menjelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji formil Undang-Undang TNI, di LBH Jakarta, Selasa (16/9/2025). Mereka menegaskan, putusan MK kali ini akan menjadi putusan bersejarah yang menentukan arah demokrasi Indonesia di masa depan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut revisi UU TNI bermasalah sejak proses hingga substansi. Menurutnya, pembahasan dilakukan secara diam-diam, minim partisipasi publik, dan berpotensi melemahkan prinsip kontrol sipil terhadap militer. “Putusan MK tidak boleh sekadar perkara biasa, tapi harus menjaga konstitusi dan mencegah kembalinya militerisme,” tegas Usman.
Hal senada disampaikan aktivis Fatia Maulidiyanti, yang mengingatkan bahwa reformasi 1998 menuntut TNI kembali ke barak. Ia menilai keterlibatan perwira aktif di jabatan sipil hingga penguatan anggaran militer justru menunjukkan dwifungsi TNI masih terus berlangsung. “Jika uji formil ini ditolak, kita hanya akan melanggengkan budaya militeristik dan impunitas,” ujarnya.
Sekjen PBHI, **Gina Sabrina**, menilai penolakan uji formil akan menciptakan preseden buruk. Ia menyebut proses legislasi UU TNI sarat kejanggalan, mulai dari rapat yang digelar di hotel hingga absennya bukti notulen dan dokumentasi sidang di DPR. “Ini bukti nyata pembahasan UU TNI inkonstitusional,” kata Gina.
Sementara itu, Ketua Advokasi YLBHI, **Zainal Arifin**, menegaskan revisi UU TNI justru melegalkan praktik militerisme yang sudah berlangsung di lapangan. “Banyak konflik agraria, hutan, hingga proyek nasional dikawal aparat berseragam. Revisi ini memberi legalisasi formal pada praktik tersebut,” ungkapnya.
Peneliti senior Imparsial sekaligus Ketua Central Initiative, **Al Araf**, menilai substansi revisi UU TNI menghapus aturan main operasi militer selain perang, sehingga membuka ruang keterlibatan militer tanpa batas di kehidupan sipil. “Hari ini kita seperti hidup dalam keadaan darurat perang, dengan militer hadir di banyak ruang sipil. Ini ancaman serius bagi demokrasi,” jelasnya.
Para aktivis sepakat, MK kini berada pada titik krusial: menjaga konstitusi dan demokrasi, atau justru melanggengkan praktik militerisme. Mereka berharap hakim MK berani mengambil putusan yang progresif, berpihak pada rakyat, dan menegakkan supremasi sipil sebagaimana semangat reformasi.