News

RUU Keamanan Siber Dinilai Abaikan Perlindungan Individu, Sorotan Tajam dari Masyarakat Sipil

×

RUU Keamanan Siber Dinilai Abaikan Perlindungan Individu, Sorotan Tajam dari Masyarakat Sipil

Sebarkan artikel ini

Jakarta — Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Raksha Initiative, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure menyoroti langkah pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM yang telah menyelesaikan penyusunan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) untuk diajukan ke DPR sebagai prioritas legislasi tahun 2026.

Koalisi menilai RUU KKS bermasalah secara substansi karena terlalu menitikberatkan pada pendekatan keamanan negara (state-centric) dan mengabaikan perlindungan terhadap individu (human-centric).

Pakai Hosting Terbaik dan Harga Terjangkau
Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiative Wahyudi Djafar menegaskan bahwa legislasi keamanan siber seharusnya berorientasi pada perlindungan perangkat, jaringan, dan individu sebagai korban langsung serangan siber, bukan menjadikan masyarakat sebagai objek pengawasan.

Lebih lanjut, Wahyudi menyoroti adanya pencampuran ranah antara kebijakan keamanan siber dan penegakan hukum terhadap kejahatan siber dalam RUU KKS.

Pasal-pasal pidana baru yang muncul, termasuk ketentuan mengenai makar di ruang siber dengan ancaman pidana hingga 20 tahun, dinilai berlebihan dan membuka ruang kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di dunia digital. Ia juga menilai pasal yang memberikan kewenangan penyidikan kepada TNI bertentangan dengan prinsip supremasi sipil sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Menurutnya, penegakan hukum pidana merupakan domain sipil yang seharusnya dijalankan secara transparan dan akuntabel. Koalisi pun memperingatkan bahwa pasal-pasal tersebut berisiko mendorong militerisasi ruang siber dan memperluas intervensi militer di ranah sipil.

Mereka menyerukan agar DPR dan pemerintah menolak ketentuan yang melanggar prinsip demokrasi serta memisahkan legislasi keamanan siber dari kebijakan penanganan kejahatan siber.

Dalam kesempatan terpisah, Wahyudi Djafar juga menyinggung pentingnya refleksi pada momentum September Hitam untuk memperkuat komitmen negara dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.

Ia mengingatkan, menguatnya wacana darurat militer dan peran ganda militer di ranah sipil merupakan kemunduran dari semangat reformasi 1998.

Menurutnya, menjaga supremasi sipil adalah syarat mutlak agar demokrasi tidak terkikis oleh dominasi militer.

Selain itu, Wahyudi menegaskan pentingnya percepatan reformasi Polri dan pembaruan KUHAP agar penegakan hukum lebih profesional dan transparan. Ia menekankan, reformasi tidak boleh dimaknai sebagai pelemahan lembaga, melainkan upaya memperkuat akuntabilitas dan perlindungan terhadap hak warga negara.

Prinsip fair trial dan akses bantuan hukum sejak awal penyidikan, ujarnya, harus menjadi standar utama agar reformasi hukum berjalan sesuai semangat demokrasi dan keadilan.