Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat
Pancasila bukan sekadar lima sila yang dihafal saat upacara. Ia adalah fondasi ideologis yang telah menjaga Indonesia tetap utuh di tengah badai sejarah. Tapi tantangan terhadap Pancasila tidak pernah benar-benar hilang—hanya berganti rupa, dari komunisme, kapitalisme, hingga ideologi identitas berbasis agama.
Di era Orde Lama, ancaman datang dari komunisme yang disusupkan oleh PKI. Mereka berusaha menggantikan Pancasila dengan ideologi revolusioner yang bertentangan dengan semangat kebangsaan. Peristiwa G30S/PKI menjadi titik balik: bangsa ini bersatu menyingkirkan ancaman itu.
Memasuki Orde Baru, ancaman bergeser ke kapitalisme. Atas nama pembangunan, negara membuka pintu bagi investasi asing dan tunduk pada logika pasar. UU No. 1/1967 dan IGGI menjadi simbol dominasi ekonomi global. Pancasila nyaris tergeser oleh ideologi ekonomi yang tak mengenal batas.
Reformasi membawa harapan baru, tapi juga membuka celah bagi neo-kapitalisme. Sektor publik vital dikuasai pasar, dan jargon efisiensi menggantikan semangat gotong royong. Baru di era Presiden SBY dan Presiden Jokowi, Pancasila kembali diangkat sebagai pilar utama melalui pembentukan BPIP.
Namun, ancaman ideologis hari ini jauh lebih kompleks. Globalisasi dan digitalisasi menciptakan dunia tanpa batas, di mana ideologi menyusup lewat algoritma dan narasi identitas. Konflik di Timur Tengah menunjukkan bahwa perang modern bukan lagi soal wilayah, tapi perebutan identitas etnis dan agama.
Di Indonesia, ancaman serupa muncul lewat ideologi khilafah yang diusung HTI. Mereka tidak sekadar menawarkan sistem alternatif, tapi berusaha mengganti fondasi ideologis bangsa. Strategi mereka halus tapi berbahaya: membentuk opini publik, menyusup ke ruang pemikiran, dan bahkan mencoba menggandeng kekuatan militer lewat thalabun nushrah.
Ideologi berbasis identitas ini menyebar cepat dan berpotensi melumpuhkan akal sehat serta toleransi. Ketika individu kehilangan kemampuan berpikir kritis dan dialog dengan diri sendiri. Di sinilah Pancasila diuji ulang sebagai benteng moral dan sosial bangsa.
Pancasila memiliki kekuatan unik karena lahir dari akar budaya dan nilai lokal yang inklusif. Ia tidak mengadopsi ideologi asing, melainkan menggali nilai-nilai luhur bangsa. Tapi agar tetap relevan, pendekatan ideologisasi Pancasila harus berubah: dari top-down menjadi bottom-up.
Strategi Sosio-Pancasila adalah jawabannya. Pendekatan ini mengajak warga dari berbagai komunitas untuk memahami dan menghayati Pancasila sebagai bagian alami dari kehidupan sosial mereka. Bukan sekadar teks formal, tapi nilai hidup yang tumbuh dari tradisi, agama, dan kebijaksanaan lokal.
Tidak ada satu pun sila yang bertentangan dengan ajaran agama. Justru Pancasila adalah titik temu, bukan titik konflik. Dengan pendekatan ini, kita bisa mencegah lahirnya komunitas yang terjebak dalam ideologi identitas sempit dan memperkuat daya tahan bangsa terhadap infiltrasi ideologis.
Pada akhirnya, pertahanan ideologis terbaik bukan di benteng kekuasaan, tapi di hati rakyat. Ketika cinta tanah air tumbuh dari kesadaran, bukan paksaan, maka Pancasila akan tetap hidup—bukan sebagai slogan, tapi sebagai jiwa bangsa yang dinamis dan tangguh menghadapi zaman.