Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat
Naluri untuk bertahan hidup adalah inti dari keberadaan manusia. Naluri ini, yang dalam bahasa Arab disebut gharizatu baqa’, mendorong manusia untuk membentuk kelompok, mulai dari keluarga, suku, hingga bangsa. Kehidupan berkelompok ini bukan hanya naluri, tetapi juga fitrah manusia yang selaras dengan hukum alam.
Namun, dalam perkembangannya, naluri berkelompok ini dapat bergeser menjadi sesuatu yang tercela, yaitu ‘ashabiyah dalam makna negatif. Kelompok radikal sering kali menyamakan nasionalisme dengan ‘ashabiyah yang dilarang dalam Islam.
Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyah adalah sikap membela kelompok atau keluarga tanpa memandang benar atau salahnya perbuatan mereka, bahkan jika mereka zalim. Hal ini diperkuat oleh hadis Nabi Muhammad saw, “Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah” (HR Abu Dawud), yang maknanya adalah mengajak orang untuk bahu-membahu menolong orang yang zalim. Ini adalah ‘ashabiyah yang dilarang karena didasari oleh hawa nafsu dan kesukuan buta, bukan untuk menegakkan kebenaran atau agama.
Akan tetapi penting untuk membedakan ‘ashabiyah yang tercela ini dengan ‘ashabiyah dalam arti umum, yaitu semangat kekeluargaan, kesukuan, atau kebangsaan yang muncul dari naluri alamiah. ‘Ashabiyah jenis ini terpuji, diakui dalam Islam. Allah sendiri menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
Bahkan, Rasulullah saw mengakui eksistensi suku-suku di Madinah, termasuk suku-suku Yahudi dan musyrikin, yang tertuang dalam Piagam Madinah. Setiap suku tetap diizinkan dengan adat dan hukum mereka selama tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam peperangan, Rasulullah saw mengatur pasukan berdasarkan suku dan panji (rayah) kesukuan. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Sa’d al-Hujailiy dalam bukunya mencatat bahwa panji-panji pasukan Nabi saw saat Fathu Makkah diatur berdasarkan suku. Setiap panji suku memiliki warna dan simbol yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa identitas kesukuan dan kebangsaan tidak hilang, melainkan diakui dan diintegrasikan.
Munculnya trauma terhadap ashabiyah akibat runtuhnya Khilafah Turki Utsmani, yang salah satunya dipicu oleh gerakan separatisme Arabisme, membuat kelompok radikal menolak konsep bangsa dan negara-bangsa secara membabi buta. Mereka beranggapan bahwa nasionalisme adalah biang perpecahan umat dan alat hegemoni Barat.
Pandangan ini keliru. Jika Arabisme adalah satu-satunya faktor, seharusnya hanya ada satu negara Arab, bukan 15 negara modern yang ada sekarang. Ini membuktikan bahwa ada faktor lain yang menyebabkan bubarnya Khilafah. Dengan demikian, menyamakan nasionalisme dengan penyebab utama kehancuran Khilafah adalah kesimpulan yang terlalu menyederhanakan masalah.
Panggung politik umat Islam modern kini beralih ke Nusantara. Kebangkitan Islam kedua, sebagaimana yang mungkin disinyalir Nabi saw dari Timur, terlihat dari bagaimana para kiai dan santri di Indonesia berhasil memerdekakan bangsa ini tanpa campur tangan penjajah. Indonesia melanjutkan estafet kepemimpinan politik umat Islam dengan identitas nasionalnya.
Penting untuk diingat bahwa nasionalisme Indonesia telah mengantisipasi bahaya ‘ashabiyah yang kebablasan. Dengan menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai dasar, nasionalisme Indonesia tidak menjadi chauvinistik atau fanatik buta.
Justru, ia berlandaskan nilai-nilai yang sesuai dengan syariat Islam, yang memandang dan memperlakukan bangsa lain dengan adil dan beradab. Inilah ‘ashabiyah yang dicontohkan oleh para sahabat di zaman Rasulullah saw.
Oleh karena itu, sikap fobia kelompok radikal terhadap nasionalisme Indonesia, yang sampai menolak NKRI, bendera Merah Putih, dan pemilu, merupakan bentuk ‘ashabiyah yang salah alamat. Mereka menggunakan dalil-dalil tentang ‘ashabiyah yang tercela untuk menolak ‘ashabiyah dalam arti umum yang terpuji.
Apakah kita masih perlu berdebat tentang nasionalisme Indonesia, padahal para pendahulu kita sudah mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kebangsaan?







