News

Reformasi Bohong-bohongan : Peradilan Militer Jadi Sarang Impunitas Prajurit TNI

×

Reformasi Bohong-bohongan : Peradilan Militer Jadi Sarang Impunitas Prajurit TNI

Sebarkan artikel ini

JAKARTA – Direktur Democratic Justice Reform (De Jure), Bhatara Ibnu Reza, menegaskan bahwa reformasi peradilan militer di Indonesia secara substansial tidak pernah terwujud sejak era reformasi dimulai. Menurut dia, penyebab utama mandeknya reformasi ini adalah keengganan dari pihak-pihak terkait, khususnya institusi TNI bersama dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan), untuk mendorong dan melaksanakan perubahan regulasi yang diperlukan. Pandangan ini menunjukkan adanya hambatan institusional yang mencegah perwujudan sistem peradilan militer yang lebih transparan dan akuntabel. “Ini kan ngehek. Keengganan untuk (reformasi) itu justru berasal dari TNI dan Kementerian Pertahanan sendiri” kata Bhatara kepada wartawan, Senin, 8 Desember 2025.

Bhatara menyoroti adanya kontradiksi regulasi yang membuat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diterapkan secara efektif. Ia menjelaskan inti dari UU 31/1997 adalah mengatur kedudukan, susunan, kewenangan, dan tata cara peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan di kalangan prajurit, sambil tetap mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Namun, implementasi UU tersebut dinilai terkunci oleh ketentuan lain dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Pakai Hosting Terbaik dan Harga Terjangkau
Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

Misalnya, pasal 65 di dalam UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dinyatakan: prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan “Peradilan Militer” dalam hal pelanggaran “Hukum Pidana Militer”, dan tunduk kepada kekuasaan “Peradilan Umum” dalam hal pelanggaran “Hukum Pidana Umum” yang diatur dengan UU. Kemudian TAP MPR VII tahun 2000 di Pasal 3 pada poin (4) a menyatakan: Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan PERADILAN MILITER dalam hal pelanggaran HUKUM MILITER dan tunduk kepada kekuasaan PERADILAN UMUM dalam hal pelanggaran HUKUM PIDANA UMUM.

Adapun mekanisme yang ada dalam sistem peradilan militer saat ini menjadi “semu” (hanya tampak), bukan substantif. Hal ini disebabkan oleh Pasal 74 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara efektif mengunci implementasi reformasi yang diamanatkan oleh UU Peradilan Militer sebelumnya. Pasal 74 dianggap mempertahankan status quo, sehingga meskipun secara hukum prajurit yang melakukan tindak pidana umum seharusnya diadili di peradilan sipil, kenyataannya implementasi tersebut terhambat oleh peraturan yang mengakar dan keengganan institusional. Pasal 74 ayat 1 menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru DIBERLAKUKAN.” Selanjutnya di ayat 2 dinyatakan, “Selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.”

“Sehingga UU nomor 31 tahun 1997 itu masih berlaku,” tegasnya.

Impunitas dan Transparansi
Bhatara yang telah mempelajari peradilan militer sejak tahun 2000-an mengatakan isu reformasi peradilan militer sebenarnya dimulai dengan pembahasan amandemen RUU peradilan militer tahun 2006-2009. Namun sejak sejak 2009 pembahasan tidak pernah dilanjutkan oleh pemangku kepentingan. Itu artinya UU peradilan militer sejatinya tidak diterapkan di Indonesia.

Model seperti ini hanya dilakukan dua negara di dunia yakni di Indonesia dan Myanmar. Aturan paling mencolok adalah apapun pelanggaran yang dilakukan, semuanya diproses melalui pengadilan militer. “Jadi misalnya kalau ada tentara yang nyopet ya, itu tetap diproses di peradilan militer (bukan peradilan umum). Artinya, belum ada reformasi di peradilan militer kita,” kata Bhatara. Masalah krusial dalam peradilan militer Indonesia adalah lembaga ini belum tersentuh reformasi substantif sejak bergulirnya era Reformasi 1998.

Menurut Bhatara, peradilan militer sejatinya harus berpegang pada sejumlah prinsip kunci, seperti menjamin Hak Asasi Manusia (HAM), menjunjung persamaan hak di mata hukum, menegakkan independensi, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, sistem ini juga harus efektif dalam memperkuat disiplin anggota militer. Kegagalan reformasi inilah yang menyebabkan prinsip-prinsip tersebut sulit terwujud dalam praktik peradilan militer.

Sebagai contoh, praktik transparansi dan akuntabilitas peradilan militer selama ini jadi masalah karena banyak kasus pelanggaran berat yang dilakukan prajurit maupun atasannya, tetapi malah dihukum ringan. “Pelaku TNI-nya itu dihukum ringan. Kalau pun misalnya banding, itu tidak terdengar lagi seperti apa sekarang,” ujarnya.

Kondisi itu semakin memperkuat dugaan bahwa keberadaan peradilan militer di Indonesia selama ini malah memperkuat impunitas TNI. Banyak kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran anggota militer, tetapi di kemudian hari pelaku tersebut masih aktif dan menerima kenaikan pangkat, mulai dari perkara narkoba hingga penghilangan nyawa. “Ini artinya kan peradilan militer tetap jadi sarang impunitas. Dan terbukti kok impunitas itu, sampai ada yang jadi jenderal walau sudah dinyatakan bersalah atau dipecat,” kata dia.

Tantangan Bagi Prabowo
Bhatara mengatakan isu Peradilan Militer akan menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo Subianto karena isu ini menyentuh inti reformasi yang sebenarnya. “Maka pertanyaannya saat ini apakah rezim Prabowo akan melakukan reformasi peradilan militer atau justru memperkuat peradilan militer sebagai sarang impunitas,” kata dia. Bhatara juga sangat berharap peran media pers dan media sosial dapat dimaksimalkan untuk terus mengawal dan memantau setiap kasus pelanggaran hingga proses peradilan militer.

Ia menekankan pengawasan publik ini harus dilakukan secara konsisten, tidak hanya berhenti di pengadilan tingkat pertama, tetapi harus dikejar hingga putusan akhir (tingkat kasasi atau peninjauan kembali), demi memastikan bahwa prinsip hukum dan keadilan benar-benar berlaku tanpa pandang bulu di lingkungan militer. “Luputnya pers sebagai pilar kelima dalam konteks pengawasan pengadilan militer ini menjadikan mereka tidak memiliki kewajiban untuk melakukan transparansi dan akuntabilitas,” ujar Bhatara.