Jakarta — Dalam Diskusi Publik bertajuk “Quo Vadis Peradilan Militer dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer: Kasus Prada Lucky Hingga Vonis Ringan di Medan” yang diselenggarakan Imparsial pada Kamis, 4 Desember 2025, Direktur DeJure sekaligus pengamat militer dan HAM, Bhatara Ibnu Reza, menegaskan bahwa apa yang dialami Prada Lucky bukan sekadar pelanggaran disiplin militer, tetapi merupakan tindak pidana yang semestinya diproses secara terbuka dan akuntabel. Ia kembali menolak penggunaan istilah “oknum” untuk mereduksi akar persoalan.
“Tidak mungkin satu batalion disebut oknum semua. Ini tidak masuk akal. Jika pelanggaran terjadi secara menyeluruh, berarti ada masalah serius dalam sistem pembinaan dan pengawasan,” tegasnya.
Bhatara juga menyoroti vonis ringan atas kasus kekerasan di Medan yang menurutnya menambah daftar persoalan akut dalam peradilan militer. Ia menilai bahwa berbagai kasus tersebut memperlihatkan minimnya akuntabilitas, rendahnya transparansi, dan kuatnya konflik kepentingan yang membutuhkan reformasi struktural. Dalam kapasitasnya sebagai Direktur DeJure, Bhatara menekankan komitmen lembaganya bersama masyarakat sipil untuk terus mengajukan dan mengawal kasus-kasus ini sebagai dasar advokasi perubahan sistemik demi membangun prajurit yang kuat, profesional, dan terdidik.
Di sisi lain, Bhatara juga mengaitkan persoalan peradilan militer dengan pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang menurutnya berpotensi memperluas peran aktor keamanan secara berlebihan tanpa mekanisme pengawasan yang kuat. Ia menilai bahwa RUU KKS, jika disahkan dalam bentuk yang ada sekarang, justru dapat melanggengkan pola impunitas, memperkuat dominasi institusi keamanan, dan mengancam kebebasan sipil. “RUU KKS harus dikritisi karena membuka peluang tumpang tindih kewenangan, memperlemah kontrol sipil, dan berpotensi mengulang pola masalah seperti yang kita lihat dalam peradilan militer. Reformasi sektor keamanan tidak boleh berjalan mundur,” ujarnya.
Bhatara menegaskan bahwa reformasi peradilan militer dan penataan ulang regulasi keamanan seperti RUU KKS merupakan satu kesatuan agenda demokrasi yang harus dijalankan paralel untuk memastikan supremasi sipil, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.













