News

Ekspansi Peran Militer Dinilai Mengikis Akuntabilitas dan Profesionalisme TNI

×

Ekspansi Peran Militer Dinilai Mengikis Akuntabilitas dan Profesionalisme TNI

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan peringatan keras bahwa Indonesia tengah mengalami arus balik militerisme yang mengancam kualitas demokrasi dan akuntabilitas negara.

Hal tersebut dipaparkan dalam diskusi publik bertajuk Hubungan Sipil–Militer dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI yang digelar secara daring, Jumat (14/11/2025).

Pakai Hosting Terbaik dan Harga Terjangkau
Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

Ia menegaskan dalam dua dekade terakhir, ruang sipil kembali terdesak oleh perluasan peran militer yang mengancam demokrasi.

“Militer tidak boleh berpolitik dan tidak boleh berbisnis,” ujarnya.

Usman menjelaskan bahwa relasi sipil–militer idealnya berdiri atas empat pilar, yaitu kendali sipil, netralitas politik, profesionalisme, dan akuntabilitas. Namun, keempat prinsip tersebut dinilai mengalami penurunan secara serius.

Ia menilai kepercayaan publik yang kembali diberikan kepada militer justru menjadi pembenaran bagi ekspansi peran-peran militer.

“Di balik seluruh dinamika itu, secara perlahan namun pasti, militer kembali mendapatkan kepercayaan publik. Dan itu menjadi pembenar bagi perluasan peran-peran militer,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa penyimpangan peran telah lama terjadi dalam sejarah Indonesia. Menurutnya, faktor sejarah, budaya politik, struktur ekonomi pertahanan, dan perebutan otoritas keamanan antara Polri dan TNI menjadi akar persoalan yang terus berulang.

Usman menyinggung gagalnya keadilan transisi sejak Reformasi 1998. Banyak kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah tuntas, baik melalui pengadilan HAM maupun jalur pertanggungjawaban politik.

Ia mengkritik keras pola penyangkalan negara. “Ada penyangkalan interpretatif, dan ada penyangkalan literal. Bahkan ada pejabat yang mengatakan tidak pernah ada pelanggaran HAM berat di era modern Indonesia. Itu keliru besar,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa penulisan ulang sejarah yang mengaburkan kejahatan masa lalu merupakan bentuk pencucian dosa rezim otoriter.

Usman memaparkan bahwa dua pemerintahan yang paling progresif dalam agenda reformasi militer adalah Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meski keduanya hanya berkuasa sebentar. Perlawanan elite militer terhadap agenda reformasi di masa Gus Dur, menurutnya, sangat kuat.

Ia juga menyoroti pelemahan serius pada era berikutnya. “Di era Jokowi jauh lebih parah lagi. Bahkan orang-orang yang diberhentikan di masa Gus Dur justru diangkat sebagai menteri,” ungkapnya.

Pengangkatan figur-figur yang pernah dikaitkan dengan kasus pelanggaran HAM berat, menurut Usman, menunjukkan kegagalan negara menegakkan standar akuntabilitas.

Salah satu temuan paling mengkhawatirkan adalah pembangunan struktur TNI secara masif tanpa ukuran ancaman eksternal yang jelas.

“Sekarang sudah dibentuk 100 batalyon. Jika menjadi 500 atau 750 batalyon, Indonesia bisa terlihat seperti negara junta militer karena militer ada di mana-mana,” tutur Usman.

Ia menilai perluasan itu tidak sejalan dengan doktrin pertahanan modern yang menempatkan militer untuk menghadapi ancaman luar, bukan mengelola urusan domestik.

Usman juga menyoroti pola lama developmentalisme Orde Baru yang hidup kembali dalam proyek strategis nasional dan ekspansi industri tambang.

Menurutnya, di sejumlah daerah seperti Papua, Aceh, Halmahera, dan Morowali, pembangunan tanpa partisipasi masyarakat berujung pada konflik, perampasan tanah, dan represi.

“Pelanggaran HAM yang terjadi adalah pilihan rezim untuk membungkam suara-suara kritis,” katanya.

Menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil, Usman menilai ini sebagai langkah maju. Ia menekankan bahwa prinsip serupa mestinya berlaku juga bagi TNI.

“Pegawai negeri sipil lah yang dididik untuk jabatan-jabatan sipil, bukan TNI atau Polri aktif,” jelasnya.

Usman berpesan kepada masyarakat untuk segera menyadarkan diri dan melek sejarah agar dapat mencegah pola militerisme seperti era orde baru.

“Jangan sampai kita tumbuh di lingkungan pendidikan dengan materi sejarah yang digelapkan. Kesadaran sejarah adalah modal utama mencegah kembalinya militerisme,” katanya.

Ia menegaskan bahwa demokrasi Indonesia hanya dapat bertahan jika agenda reformasi TNI dan akuntabilitas HAM kembali menjadi prioritas.