Oleh: Abdul Ghopur
Kredo yang menyatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya adalah sepenuhnya benar. Sebab mereka telah berkorban harta-benda bahkan nyawa, jiwa-raga, darah dan air mata. Sudah sepatutnyalah kita sebagai generasi penerus sekaligus pelurus sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia harus terus selalu mengingat dan menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang bahkan gugur di medan perang. Sebab, kalau tak ada pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan, kita belum tentu bisa seperti sekarang ini bahkan juga sudah pasti tak ada. Demikian pula dengan Resolusi Jihad Fii Sabilillah Nahdlatul Ulama (NU) 21-22 Oktober 1945, jika tak ada fatwa jihad ini tentu tak akan ada perang 10 November 1945 untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan negara merdeka yang baru diraih bangsa Indonesia.
Sekilas Perang Surabaya 10 November 1945
Tepat delapan puluh (80) tahun yang lalu, pecah perang kemerdekaan Indonesia melawan pendudukan kembali Belanda yang membonceng pasukan sekutu yang menamakan diri sebagai Nederlandsch Indische Civiele Administratie/Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda terhadap Republik Indonesia. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945. Pada paruh kedua September 1945 dan Oktober 1945 Pasukan Inggris (Sekutu) mendarat di Jakarta, dan di beberapa wilayah lainnya di Indonesia termasuk Surabaya dengan nama NICA. Pergerakan pasukan Inggris tidak lagi dapat dibendung pada saat itu. Sementara pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta menginginkan berbagai penyelesaian konflik secara diplomatik sembari menata birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di sisi lain, pasukan Inggris ketika itu juga telah menduduki daerah-daerah di Indonesia seperti: Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga mendapat bantuan langsung dari Jepang yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari pengalihan kekuasaan. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia. Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang yang terdiri dari–antara lain serdadu jajahan, India. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda (NICA) yang masih bersemangat menguasai Indonesia.
Selang sehari sesampainya pasukan sekutu di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, keesokan siang-nya pada tanggal 26 Oktober 1945, mereka mendirikan pos pertahanan Inggris di sekolah Al-Irsyad, namun sore kisaran pukul 17.00, sontak pos tersebut dihujani tembakan oleh massa pemuda/Arek-Arek Suroboyo dari kampung sekitar yang beramai-ramai meneriakkan seruan atau pekikan “Allahu Akbar!”. Pertempuran itu pun berlanjut tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945 yang berujung tewasnya seorang Brigadir Jenderal bernama A.W.S. Mallaby pada tanggal 30 Oktober 1945 sore. Peristiwa terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby itu tidak saja mengejutkan para pemimpin Indonesia, bahkan membuat terkejut sekaligus gusar pemimpin pasukan Sekutu di Jakarta. Itulah salah satu pemicu dan pemantik yang menyebabkan pecahnya Perang atau Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang menjadikan revolusi Indonesia menjadi sorotan dunia dan sekaligus momok bagi Inggris selaku pemenang Perang Dunia II, di samping pengibaran bendera tri warna Belanda 18 September 1945 oleh mereka orang-orang Belanda di Hotel Yamoto yang dulunya bernama Oranje Hotel yang dibangun tahun 1910 (sekarang Hotel Majapahit).
Ultimatum Lieutenant General Commander in Chief AFNEI Versus Semangat Jihad Santri Dan Arek-Arek Suroboyo
Segera setelah mendengar kabar salah seorang perwira tingginya tewas (vermits) dalam peristiwa tembak-menembak di depan gedung Internatio (di Roderbrug atau Jembatan Merah tepatnya), dengan penuh amarah Letnan Jenderal Philip Christison, Panglima Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI) pada tanggal 31 Oktober 1945 mengeluarkan pengumuman sekaligus ancaman kepada rakyat Surabaya agar mereka semua menyerah, apabila tidak menyerah akan dihancur-leburkan, yang isi lengkap dari pengumuman berisi ancaman itu sebagai berikut:
“WARNING TO INDONESIAN!”
“On 28th October a large number of armed Indonesian in Surabaya without warning or provocation British forces, which had landed there peacefully for the purposes of disarming and concentrating the Japanese force, of bringing relief to prisoners of war and enternees, and of maintaining lawa and order in the area occupied by them.
Subsequently these Indonesian broke the truce which had been agreed in the presence of Ir. Soekarno and Mochammad Hatta and foully murdered Brigadier, who had game to parley with them.
These direct unprovoked attack upon British cannot in any circumstances be permitted, and unless the Indonesians who have commited the act surrender to my force, I intend to bring the whole weight of my sea, land and air forces and all weapons of modern war against them until tey are crushed.
If, in this process, Indonesians, should be killed or wounded, the sole responsibility will rest with those Indonesians who have commited the crimes I have named.
I warn all Indonesians throughout Java that they should have to do with extremist elements and that they should co-operate with my forces and live in peace and harmony with them. For it forces is used against my troops it will be met with force. I am determined to maintain law and order, and I look to all good Indonesians to support me in this task.”
Spontan saja ancaman dari Jenderal Sekutu ini membuat dadanya para pemuda dan seluruh rakyat Surabaya bergemuruh berapi-api marah, yang malah makin mengobarkan api semangat perlawanan dan jihad fii sabilliah. Pada tangggal 1 November 1945 pagi, para tokoh pemuda dari berbagai kampumg di Surabaya berdatangan ke Blaoeran (ejaan lama), menghadap Hadrastussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, yang selama ini dianggap telah mendorong para pemuda untuk berani melawan Sekutu dengan fatwa jihad fii sabilillahnya. Dan, para pemuda bersukacita meneriakkan takbir sewaktu KH. M. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa tindakan mereka melawan Sekutu yang akan dijadikan alat oleh Belanda untuk berkuasa kembali adalah tindakan yang benar. Bahkan KH. M. Hasyim Asy’ari menyatakan, ia akan bersaksi bahwa siapa saja di antara orang yang berjihad membela tanah airnya adalah orang yang mati syahid, yaitu orang yang dijamin masuk ke dalam surga.
Sepucuk Surat Ultimatum Dan Instruksi E.C. Mansergh, Commander of the Allied Forces, East Java Untuk Rakyat Indonesia Di Surabaya Dibalas Pekik Takbir Dan Semoboyan Perlawanan
Pada tanggal 7 November 1945, Mayor Jenderal E.C. Mansergh mengundang Gubernur Jawa Timur ke Bataviaweg (Jl. Jakarta) untuk memperkenalkan dirinya sebagai pengganti Mallaby yang tewas. Sambil mengapit tongkat komando di lengan kirinya, Mansergh berjabatan tangan dan mempersilahkan Gubernur dan rombongan untuk duduk seraya menyerahkan sepucuk surat dari sakunya. Inti dari sepucuk surat itu isinya bahwa: kehadirannya di Jawa Timur untuk menjalankan tugas mengungsikan tawanan perang dan kaum interniran Sekutu atau warga lain yang ingin pulang ke negerinya seperti Swiss dan India. Rakyat Surabaya agar mengembalikan semua tantara Sekutu yang luka-luka, tahanan-tahanan, peralatan, truk-truk. Mengambil alih tanggungjawab atas lapangan terbang dan akan mendudukinya. Melucuti seluruh senjata yang dipegang oleh rakyat Surabaya dari semua ragam jenis seperti senapan, pistol, meriam, thank, mortar, granat dan senjata-senjata tradsionil lainnya.
Surat ultimatum dan instruksi Mayor Jenderal E.C. Mansergh itu kemudian disebarkan dalam bentuk ribuan pamflet melalui pesawat terbang di langit Surabaya, dimana rakyat Surabaya diharuskan kesediaannya untuk menyerahkan semua senjata yang dimilikinya kepada pasukan Inggris paling lambat tanggal 9 November 1945 jam 18.00. Ultimatum dan instruksi Mansergh itu justru disambut dengan teriakan takbir dan tantangan balik oleh Arek-Arek Suroboyo untuk bertempur dengan semboyan “Merdeka Atau Mati!”. Untuk pertama kalinya, Arek-Arek Suroboyo menerima tantangan dan penghinaan tidak dengan misuh-misuh (mengumpat-umpat) khas Surabaya, melainkan dengan teriakan takbir.
Perang Sabil Dan Seruan Jihad Fii Sabilillah Kedua
Segera setelah menghadiri Kongres Masyumi tanggal 7-8 November 1945 di Jogjakarta, Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari selaku tokoh kharismatik panutan rakyat Indonesia yang selaras pandangan dan pikirannya dengan rakyat dan pemuda, yang telah ditunggu-tunggu fatwanya, kembali ke Surabaya. KH. M. Hasyim Asy’ari kembali mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah pada tanggal 9 November 1945 pukul 15.00 sore, yang isinya: “Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari Surabaya.” Isi fatwa jihad fii sabilillah 9 November 1945 sedikit digubah dengan yang 22 Oktober 1945, yaitu pengurangan redaksi “dari tempat masuk dan kedudukan musuh”, tapi langsung “dari Surabaya”.
Jawaban heroik Hadratussyeikh KH. M. Hasyi Asy’ari inilah yang semakin mengobarkan semangat Arek-Arek Suroboyo dalam menghadapi bombardir balatentara Inggri dan Sekutu dari darat, laut dan udara pada 10 November 1945. Karena seluruh rakyat Surabaya yang menyebut diri “Arek-Arek Suroboyo” tidak perduli beragama Islam atau tidak, semuanya telah bertekad untuk menjemput kematian syahid/suci dalam Perang Sabil yang dikobari semangat jihad fii sabilillah membela Tanah Air, membela Nagara Republik Indonesia. Walhasil, sejarah mencatat, satu-satunya jawaban dari pihak Indonesia yang semakin mengobarkan semangat Arek-Arek Suroboyo dan seluruh umat Islam di Indonesia berasal dari fatwa jihad fii sabilillah kedua yang diserukan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari pada 9 November 1945.
Fatwa Resolusi Jihad NU Sebagai Inspirasi Perang Suci
Syahdan, peristiwa Perang 10 November 1945 tidak bisa dipisahkan sama sekali dari peran dan jasa besar para ulama-ulama NU. Terutama sosok Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari (kakeknya Gus Dur) yang mencetuskan fatwa Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang menggerakkan kalangan santri dan juga warga untuk menghantam pasukan sekutu di Surabaya yang ingin menjajah kembali. Delapan Puluh (80) tahun lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-waki l (konsul-konsul) dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU, Hadratus as-Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, men-declare perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad fii sabilillah. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad NU.
Resolusi Jihad Fii Sabilillah sebagaimana disebutkan di atas, mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama laki-laki dewasa, yang berada dalam radius 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. (Radius 94 km diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan apa pun. Jika umat Islam yang dalam radius 94 km kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka.
Resolusi Jihad NU meminta pemerintah untuk segera “meneriakkan” perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan saja disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November 1945, yaitu salah satu perang terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah republik ini berdiri. Para kyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non regular yang dinamai Sabilillah, yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin. Sementara para kyai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah (Bapak Pendiri NU).
Segera setelah itu, ribuan kyai dan santri dari berbagai daerah di Jawa (termasuk Kyai Abbas Buntet, Cirebon) bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian (kurang lebih) setelah 22 Oktober 1945, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris bersama sekutunya melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syuhada (mati syahid). Meskipun faktanya Surabaya “gagal” (dalam tanda kutip) sepenuhnya direbut dan kuasai kembali oleh para mujadih-pejuang kita dari penjajah, namun puluhan ribu darah para pahlawan yang tumpah membasahi dan memerahi bumi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, membuat Inggris sang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah secara mental. Perang Surabaya 10 November 1945, menurut mereka (Pasukan Sekutu) bagai neraka dan tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Kesepakatan Rahasia Sjahrir-Van Mook Versus Muktamar NU (Seruan Kembali Jihad Fii Sabilillah)
Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.J. Van Mook, bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Kedua belah pihak juga menyepakati rencana pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan di Purwekerto pada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Sebagaimana telah disampaikan di atas tadi, kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama laki-laki dewasa, yang berada dalam radius 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka. Meski faktanya di luar radius yang disebutkan, tetap saja berbondong-bondong kaum Nahdliyyin dan seluruh umat Islam bergelombang-berdatangan dengan semangat jihad yang berapi-api.
Dalam pidatonya, KH. Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar (muktamirin), untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut KH. Hasyim Asy’ari tidak akan bisa dijalankan di negeri yang terjajah. ”…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan.” Kaum penjajah datang kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih canggih lagi. Umat Islam harus menjadi pemberani. “Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama rasulullah…”
“… Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun. Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya…..… maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu…..“
Persetujuan Linggarjati Yang Dikhianati
Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945 pemerintah Inggris secara tidak resmi mendesak pemerintah Belanda agar mengambil sikap yang lebih luwes terhadap Republik Indonesia. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr, mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara republik Indonesia dengan Belanda.
Persetujuan ditandatangani, namun Belanda tiba-tiba melancarkan agresi militernya. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, dan ”tanggung jawab” atas Jawa dan Sumatera diserahkan sepenuhnya kepada Belanda. Sejak saat itu, orang asing yang semakin terlibat dalam pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda, menggantikan Inggris, adalah Amerika Serikat (mungkin sampai sekarang).
Resolusi Jihad NU Adalah Bukti Historis Komitmen Kecintaan NU Terhadap Tanah Air Indonesia
Pada akhirnya, seruan Resolusi Jihad NU ini memiliki sumbangan sangat besar atas pecahnya Perang 10 November 1945 yang terkenal dan selanjutnya diabadikan sebagai Hari Pahlawan di kemudian hari, ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959, tanggal 16 Desember 1959. Tidak terbatas pada Peristiwa Perang Surabaya 10 November 1945, seruan ini berdampak panjang pada masa berikutnya. Perjuangan kemerdekaan yang melibatkan massa rakyat yang berlangsung hampir empat tahun sesudah itu di berbagai tempat di Jawa khususnya hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 juga banyak didorong oleh semangat jihad yang diserukan melalui resolusi ini. Pada akhirnya, Resolusi Jihad NU tak lain merupakan bakti dan bukti historis komitmen NU untuk membela dan mempertahankan Tanah Air yang merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathon minal iman).
Berikut ini adalah isi dari Resolusi Jihad NU sebagaimana pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. Salinannya di sini dengan menyesuaikan ejaan:
Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya:
Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.
b. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat Islam.
Mengingat:
a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan ummat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.
Memutuskan:
1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangan.
2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Tak ayal, jalur perjuangan melalui aksi jihad melawan penjajah demi menyelamatkan republik yang baru seumur jagung, akhirnya harus ditempuh demi menyelamatkan Republik Indonesia yang baru saja berdiri. Bagaimana pun ini adalah suatu tanggapan yang cepat, tepat, dan tegas dari NU atas krisis kepercayaan dan kewibawaan sebagai bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya (termasuk krisis kepercayaan dan kewibawaan pemimpin nasional di Jakarta waktu itu).[]
Berikut ini adalah fakta-fakta dan seputar peristiwa Perang Surabaya 10 November 1945 yang dihimpun dari buku karya Agus Sunyoto dan berbagai sumber lainnya:
1. Peristiwa pertempuran Surabaya 10 November 1945 adalah sebuah peristiwa dalam Sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara November 1945–Januari 1946, yang sangat sengit, destruktif dan mengerikan–jauh dari yang pernah dibayangkan pihak Inggris dan Sekutu sebagai pemenang PD II maupun Indonesia sendiri yang berabad-abad menjadi kaum jajahan.
2. Pertempuran bersejarah itu diawali pertempuran 4 hari di akhir Oktober 1945 yang dipicu Fatwa dan Resolusi Jihad Fii Sabilillah Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama 22 Oktober 1945.
3. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 menewaskan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, menjadi momentum paling berharga bagi Republik Indonesia yang baru lahir dan belum memperoleh pengakuan dunia.
4. Komandan Brigade Infanteri 49 Inggris, seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas dalam kekacauan yang bahkan belum lagi bisa disebut sebagai pertempuran. Padahal, Inggris yang tergabung di pihak Sekutu, adalah pemenang PD II. Lebih tragisnya, selama PD II itu tidak ada perwira tinggi mereka yang jadi korban di medan pertempuran. Tidak di wilayah mereka di Eropa, maupun di medan-medan tempur lainnya di Afrika dan Asia.
5. Pertempuran Surabaya 10 November 1945 berlangsung selama empat belas minggu atau tiga bulan atau 100 hari (sebagian lain, menyatakan 21 hari).
6. Peristiwa pertempuran 10 November 1945 adalah fakta sejarah yang tidak pernah diakui sebelumnya.
7. Peristiwa pertempuran Surabaya 10 November 1945 bukanlah peristiwa yang sekonyong-konyong terjadi sebagai reaksi spontan Arek-Arek Suroboyo terhadap kedatangan pasukan Sekutu yang mereka curigai dibonceng orang-orang Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Melainkan sebuah aksi perlawanan rakyat yang direncanakan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia bukanlah “negara boneka” bikinan fasisme Jepang, melainkan sebuah negara merdeka yang berdaulat yang didukung oleh seluruh rakyat Indonesia.
8. Arek-Arek Suroboyo telah mencurigai atas kedatangan Inggris dan Sekutu yang di dalamnya telah membonceng pihak Belanda yang menyatakan kedatangannya ke Surabaya sebagai Palang Merah Internasional dan anggota RAPWI (Rehabilitation/Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), badan yang akan melucuti Jepang dan mengurus tawanan perang dunia kedua selama Jepang berkuasa.
9. Dibalik Palang Merah Internasional, mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato.
10. Salah-satu diantara perencanaan membangkitkan perlawanan rakyat adalah seruan Fatwa dan Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang dimaklumatkan oleh Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama pada 22 Oktober 1945, yang didukung kalangan pesantren, termasuk para kyai dan santri yang aktif di TKR dan badan-badan perjuangan yang sudah terlatih kemiliteran semenjak jaman pendudukan Jepang dalam kesatuan tantara sukarela PETA, Heiho, Hisboellah, Sabilillah, Mujahidin, Seinendan, dan Jibakutai.
11. Rangkaian sejarah perlawanan bersenjata yang dilakukan umat Islam berdasarkan petunjuk dan arahan ulama sufi guru tarikat dan kyai haji dari pesantren semenjak Portugis menguasai Malaka tahun 1511 hingga masa kedatangan awal “bajak laut” Belanda tahun 1595 dan pembentukan VOC tahun 1602 yang berlanjut dengan penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tahun 1800, lalu berlanjut penjajahan bangsa Jepang tahun 1942, yang menjadi rangkaian panjang perlawanan bersenjata itu sebagai tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, terutama melalui serangkaian ramalan-ramalan mesianis dan milenaristik.
12. Semangat perlawanan kaum santri di pesantren terikat/terilhami semboyan “Is Kariman au Muut Syahidan” (Hidup Mulia atau Mati Syahid) ditambah dengan semangat Jibakutai (pasukan bom bunuh diri) yang ditanamkan tantara Japang dalam pelatihan-pelatihan Kyoren, yang berpadu dengan tradisi “tawuran” Arek-Arek Suroboyo.
13. Frekuensi Arek-Arek Suroboyo yang lebih tinggi perlawanannya dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia dilatar-belakangi kehidupan sosio-kultur-religius dari kota yang dibangun di atas mitologi pertarungan hewan buaya dan ikan hiu, yaitu simbolisasi dari peperangan antara pasukan Majapahit melawan balatentara Tartar tahun 1293 Masehi.
14. Sejak berabad-abad silam Surabaya menjadi daerah penuh peperangan antar–kerajaan di Nusantara.
15. Pertemuan konsul-konsul NU se Jawa dan Madura yang diselenggarakan Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama tidak diselenggarakan di kantor HB NO, melainkan di kantor HB Anshor Nahdlatoel Oelama.
16. Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari telah mempertimbangkan dan memperhitungkan seberapa kuat dan luasnya pengaruh dari Fatwa Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang diserukannya di Surabaya. Dan, kenapa harus Surabaya? Yaitu, konteks sosio-kultural-religius masyarakat Surabaya yang memiliki nilai-nilai “pemujaan” terhadap keberanian.
17. Surabaya merupakan kota yang penting untuk dikuasai kembali, karena pada waktu itu Surabaya adalah kota besar yang memiliki Pelabuhan dan pangkalan laut yang terbesar se Asia.
18. Sejarah mencatat bagaimana setelah Fatwa Jihad Fii Sablillah diserukan Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad dimaklumatkan Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama pada 22 Oktober 1945, tiba-tiba pos pertahanan Inggris di sekolah Al-Irsyad yang dibangun tanggal 26 Oktober 1945 siang hari, pada sore hari jam 17.00 sudah dihujani tembakan oleh massa pemuda dari kampung sekitar yang beramai-ramai meneriakkan seruan “Allahu Akbar.”
19. Pasca serangan 26 Oktober 1945, pertempuran pun berlanjut tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945 yang berujung pada tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada 30 Oktober 1945 yang menjadikan pecahnya Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang menjadikan revolusi Indonesia menjadi sorotan dunia dan menjadi peristiwa besar yang tercatat abadi dalam sejarah dunia.
20. Peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945 bukanlah peristiwa sejarah yang berdiri sendiri, sebaliknya merupakan sebuah akumulasi dari rangkaian panjang perlawanan bangsa Indonesia dari kalangan pesantren terhadap kolonialisme Eropa yang dilakukan sejak kedatangan penjajah Portugis tahun 1511 di Malaka.
21. Peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945 melibatkan seluruh elemen bangsa Indonesia dari beragam suku, etnis, dan ras serta jawatan-jawatan dan profesi yang membentuk laskar-laskar pejuang seperti Laskar Tiong Hoa, Maluku, Bali, Kalimantan, Aceh, Tapanuli, dan lain-lain, jawatan Kereta Api dan barisan petani dan bahkan kelompok pemberontak dan gerombolan Maling. Peristiwa ini menggambarkan nilai-nilai dan semangat kesatuan dan persatuan yang bulat-solid yang benar-benar mencerminkan dan menginginkan kemerdekaan sebuah bangsa.
22. Mayor Zia ul Haq, yang memimpin dua kompi pasukan dari the3/2nd Punjab Regiment, tergetar hatinya saat mendapati banyak masjid di Surabaya sepanjang pertempuran 10 November 1945 dari pagi hingga malam, menyadarkan bahwa ia sedang menghadapi gerakan perlawanan umat Islam Surabaya. Itu sebabnya, saat ia menghadapi para pejuang yang menyerang sambil meneriakkan takbir, ia putuskan untuk kembanli ke pelabuhan dan melarikan diri dari medan pertempuran. Dalam catatan diketahui, terdapat sekitar 400 orang tantara India muslim menyerah karena menolak untuk bertempur melawan sesama muslim. Bahkan lebih dari 1500 orang lainnya di Jakarta menolak menjalankan tugas bertempur melawan muslim Indonesia yang berjuang meraih kemerdekaannya, di mana mereka itu dilucuti dan ditahan di Singapura.
23. Dan lain-lain.. (to be continued..)
Disclaimer: (-Makalah ini merupakan pengamatan peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda. -Tak semua data sejarah peristiwa Perang Surabaya 10 November 1945 dan Resolusi Jihad NU dapat dituang-torehkan dalam makalah yang sangat singkat ini. -Makalah ini bisa dikatakan seperti kronik-kronik sejarah dan masih memerlukan pengayaan data dan informasi yang lebih komprehensif).
Referensi:
– A. Khoirul Anam dkk. 2013. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren. Jakarta: Mata Bangsa & PBNU.
– Abdul Mun’im DZ. 2011. Piagam Perjuangan Kebangsaan. Jakarta: Setjen PBNU-Ensiklopedi NU-NU Online.
– Agus Sunyoto. 2017. FATWA DAN RESOLUSI JIHAD, Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945. Jakarta-Malang: LESBUMI PBNU-Pustaka Pesantren Nusantara-PESANTREN GLOBAL TARBIYYATUL ARIFIN.
– Batara Richard Hutagalung. 2001. Sepuluh November Empat Puluh Lima. (sebagaimana dikutip tirto.id).
– Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.; dimuat pula di: Antara, 25 Oktober 1945.; Berita Indonesia, Djakarta, 27 Oktober 1945.
Sumber lain:
– Touwen-Bouwsma, Elly; Groen, Petra M. H., ed. 199). Tussen Banzai en Bersiap. De afwikkeling van de Tweede Wereldoorlog in Nederlands-Indië (Between Banzai and Bersiap: The Completion of the Second World War in the Netherlands Indies) (dalam bahasa Belanda). The Hague: SDU. (Sebagaimana dikutif https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan Sipil_Hindia_Belanda).
– https://tirto.id/insiden-hotel-yamato-ulah-belanda-bikin-murka-arek-arek-surabaya-cwSD
– https://www.youtube.com/watch?v=1NMn88jggDc.
– Dan dari berbagai sumber lain.







