MediaSiber.com – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan ledakan informasi, Indonesia kini menghadapi persoalan serius: krisis kesadaran digital yang berimbas pada kesehatan mental masyarakat. Ruang maya yang semestinya menjadi sarana edukasi dan ekspresi, justru kerap berubah menjadi arena konflik sosial dan psikologis.
Fenomena ini disorot oleh Andrie Taruna, Ketua Bidang Hukum Yayasan Restorasi Jiwa Indonesia, yang menilai bahwa hukum seharusnya tidak hadir hanya untuk menghukum, melainkan juga membimbing masyarakat menuju kesadaran digital yang sehat.
“Indonesia tengah berada di persimpangan penting antara kemajuan digital dan ketidaksiapan mental kolektif dalam mengelolanya. Ruang siber yang seharusnya menjadi sarana ekspresi dan edukasi, kini sering berubah menjadi arena pertempuran ego, fitnah, dan disinformasi,” kata Andrie dalam keterangan persnya, Jumat (31/10/2025).
Kemudian, ia juga mengutip data dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang telah mencatat, bahwa sejak tahun 2018 hingga akhir 2024, terdapat lebih dari 12.000 konten hoaks yang berhasil diidentifikasi. Dari jumlah itu, sekitar 2.000 kasus muncul hanya dalam tahun 2024, sebagian besar berkaitan dengan isu politik, SARA, dan kesehatan.
Andrie menjelaskan, penyebaran hoaks tidak lagi hanya menimbulkan keresahan sosial, tetapi juga telah menelan korban jiwa. Ia mencontohkan kasus di Wamena dan Sorong, di mana rumor penculikan anak yang tidak berdasar memicu kekerasan massal.
“Fakta ini menjadi bukti bahwa dunia digital kini memiliki kekuatan destruktif yang setara dengan dunia nyata, namun belum diimbangi dengan kesadaran hukum dan etika digital yang matang,” ujarnya.
Di samping, Andrie juga mengutip laporan Riskesdas tahun 2023 yang turut memperkuat kekhawatiran tersebut. Tercatat 19 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, dan 12 juta di antaranya mengalami depresi. Di kalangan remaja, satu dari tiga mengaku memiliki masalah psikologis dalam setahun terakhir.
Maka dari itu, Andrie pun menilai, bahwa kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari paparan digital yang tidak sehat seperti cyberbullying, ujaran kebencian, serta tekanan sosial akibat budaya perbandingan di media sosial.
“Hukum kini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana melindungi warga negara dari dampak psikologis yang muncul akibat perilaku digital destruktif,” ungkapnya.
UU ITE dan Krisis Kesadaran Hukum
Di sisi regulasi, Andrie juga menyoroti tentang Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang sejatinya menjadi tonggak penting dalam mengatur perilaku digital di Indonesia. Namun menurut Andrie, UU tersebut kini kerap menjadi “pedang bermata dua”.
Ia menilai bahwa pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE, terutama terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, sering disalahgunakan hingga menimbulkan kriminalisasi ekspresi publik. Kondisi inilah yang disebutnya sebagai krisis kesadaran hukum, ketika hukum kehilangan jati dirinya sebagai penjaga keadilan dan berubah menjadi alat kekuasaan.
Sebagai praktisi hukum, Andrie mendorong agar paradigma hukum digital diubah dari yang bersifat reaktif menjadi preventif dan edukatif. Ia menegaskan bahwa hukum seharusnya bersinergi dengan program literasi digital, psikologi masyarakat, dan kesadaran sosial.
“Tanpa pendekatan holistik, setiap kasus pelanggaran siber hanya akan menjadi lingkaran reaktif yang berulang tanpa pemulihan kesadaran publik,” tegasnya.
Ia menilai bahwa penerapan restorative justice dalam kasus pelanggaran UU ITE merupakan langkah maju karena menempatkan pemulihan relasi sosial di atas pembalasan. Namun pendekatan ini, katanya, baru efektif bila didukung oleh ekosistem literasi digital dan kesehatan mental yang kuat.
Andrie juga mendorong agar kebijakan hukum nasional terintegrasi dengan pendampingan psikologis dan sosial. Menurutnya, korban perundungan siber tidak cukup hanya diberi perlindungan hukum, melainkan juga harus mendapat dukungan emosional dan mental.
“Negara seharusnya tidak hanya mengatur, tetapi juga merangkul. Hukum tidak bisa berdiri kaku di atas teks undang-undang—ia harus hidup, bernafas, dan memahami luka batin warganya,” tandas Andrie.
Di akhir pernyataannya, Andrie menyerukan pentingnya integrasi antara keamanan digital dan kesehatan mental dalam satu visi kesadaran hukum nasional. Karena sejatinya, ruang digital adalah cermin batin masyarakat. Jika cerminnya kotor, bukan hanya wajah bangsa yang buram, tetapi juga nurani hukumnya,” ujarnya menegaskan.
“Dalam dunia digital yang bising dan reaktif, hukum seharusnya menjadi penuntun menuju kesadaran kolektif yang lebih matang. Indonesia tidak hanya butuh penegakan hukum yang kuat, tetapi juga hukum yang berjiwa,” tutup Andrie.











