News

Reformasi Polri Jangan Salah Arah: Setara Institute Tekankan Perubahan Budaya dan Profesionalisme Aparat

×

Reformasi Polri Jangan Salah Arah: Setara Institute Tekankan Perubahan Budaya dan Profesionalisme Aparat

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menilai wacana Reformasi Kepolisian perlu berjalan beriringan dengan pembenahan lembaga penegak hukum dan pertahanan lainnya.

“Reformasi kepolisian, oke. Tapi reformasi kelembagaan negara yang lain juga penting dilakukan, terutama TNI dan Kejaksaan,” kata Halili, Kamis (23/10/2025).

Pakai Hosting Terbaik dan Harga Terjangkau
Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

Halili menyoroti pentingnya reformasi Kejaksaan dan peradilan militer, yang hingga kini masih berlandaskan undang-undang warisan Orde Baru.

“Kalau kita serius mau melakukan reformasi sektor keamanan, salah satu agendanya adalah reformasi peradilan militer. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana seharusnya diadili di peradilan sipil,” tegasnya.

Halili menilai, dari sisi kelembagaan, posisi Polri saat ini sudah ideal. Penempatan Polri di bawah Presiden dinilai sejalan dengan semangat supremasi sipil yang menjadi roh reformasi 1998.

“Polisi di bawah Presiden itu ideal. Itu untuk menegaskan supremasi sipil, bukan militer. Dalam demokrasi, sektor keamanan harus dikendalikan oleh aparatur sipil, bukan militer,” ujarnya.

Lebih lanjut, Halili menekankan bahwa tantangan utama Polri saat ini bukan terletak pada struktur kelembagaan, melainkan pada aspek kultural dan profesionalitas.

Ia menilai, rendahnya kepercayaan publik terhadap Polri lebih banyak disebabkan oleh budaya kerja dan perilaku aparat di lapangan.

“Public distrust hari ini lebih banyak berkaitan dengan aspek kultural dibanding kelembagaan. Jadi kalau yang direformasi justru kelembagaannya, itu tidak nyambung,” katanya.

Selain budaya, Halili juga menyoroti pentingnya peningkatan profesionalisme dan kecepatan layanan publik.

Ia mencontohkan, perlu adanya standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dalam penanganan laporan masyarakat agar pelayanan menjadi lebih cepat dan akuntabel.

“Kalau Polri punya SOP yang pasti, misalnya laporan harus direspons dalam dua minggu, publik akan merasa dilayani. Ini sama seperti layanan perbankan yang cepat dan terukur,” ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran publik bahwa reformasi Polri akan menjadikan lembaga tersebut terlalu kuat atau “superbody”, Halili menilai hal itu tidak berdasar.

Menurutnya, reformasi seharusnya dipahami sebagai upaya memperkuat profesionalitas dan akuntabilitas, bukan memperluas kekuasaan.

“Tidak perlu ada ketakutan seolah-olah Polri akan jadi superbody. Justru reformasi ini harus diarahkan untuk memperkuat supremasi sipil,” tuturnya.