Biasakan membaca sampai akhir ya supaya tak ikut-ikutan latah tanpa logika.
Belakangan ini, jagat maya dan ruang publik seperti arena gladiator:
ada yang teriak “Reformasi Polri!”, ada yang lebih ekstrem lagi, “Bubarkan Polri! Lebur ke Kementerian!”
Wah, luar biasa negeri +62 memang tidak pernah kehabisan ide “revolusioner”.
Kalau bisa dibubarkan, kenapa harus dibenahi, kan?
Di barisan yang mengibarkan panji “Reformasi atau Bubarkan Polri”, berderet nama-nama beken: Rismon Sianipar, Said Didu, dan terbaru mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Sebelumnya ada juga mantan Kepala BAIS TNI Soleman Ponto, mantan Danjen Kopassus Soenarko, dan loyalis Sri Radjasa.
Mereka kompak mendesak: Polri harus dirombak habis, bahkan kalau perlu dibentuk ulang.
Tapi mari kita tanya sejenak apakah ini benar murni niat suci untuk membenahi institusi,
atau justru ada aroma “syahwat politik” yang menyengat di balik narasi reformasi itu?
Lucunya, wacana ini muncul bukan dari ruang kosong. Awalnya demo menuntut DPR, tahu-tahu melebar ke “Reformasi Polri”.
Dari protes wakil rakyat, berubah jadi ajang cari panggung.
Hebat juga pivot-nya, bisa lebih cepat dari TikTok transition!
Framing yang Didorong:
Narasi yang dijajakan oleh pihak-pihak tertentu sangat canggih Polri digambarkan seolah lembaga gagal, bobrok, dan tak bisa dipercaya. Padahal, setiap institusi pasti punya catatan kelam dan ruang pembenahan,
tapi bukan berarti solusi terbaik adalah “hapus saja sekalian”.
Kalau begitu logikanya, mungkin kita juga perlu bubarkan DPR setiap kali korupsi mencuat, kan? Atau institusi lain juga ikit dibubarkan seperti TNI, Kejaksaan, BIN, Bais TNI jika setiap ada kasus-kasus menonjol melibatkan aparatnya.
Krisis Akal Sehat dan Bahaya Polri di Bawah Kementerian
Ada pula yang berpikir jernih: kalau Polri dilebur ke Kementerian atau dikembalikan ke ABRI, bukankah kita sedang mengundang “hantu” masa lalu? Kembali ke era Orde Baru, ketika sipil takut bicara, dan hukum tunduk pada kekuasaan berseragam.
Jika Polri di bawah Kementerian, maka otomatis Menterinya bisa dari partai politik, bisa dari golongan tertentu, bisa juga dari yang sedang haus kuasa. Profesionalisme akan tergadai oleh kepentingan. Yang semula di bawah Presiden jalur komando jelas dan cepat akan berubah jadi birokrasi panjang penuh negosiasi politik.
Menolak Lupa :
Presiden Prabowo sendiri, saat masih Menhan di era Jokowi, pernah menegaskan: “Polri tidak boleh di bawah Kementerian.”
Siapa yang Paling Senang Kalau Polri Dilemahkan?
Jawabannya mudah: Para pelaku kejahatan, kriminal, bandar narkoba, dan para mafia. Semua ikut senyum. Mereka sudah menunggu hari “libur nasional” penegakan hukum itu.
Ketika aparat sibuk berdebat soal struktur, mereka kembali bebas bertransaksi. Lucu tapi nyata, yang ribut soal reformasi justru bisa membuka pintu bagi kejahatan.
Refleksi Akhir:
Mungkin kita sedang mengalami krisis bukan di lembaga, tapi di kepala. Krisis akal sehat yang membuat sebagian orang lebih senang mengguncang sistem daripada memperbaikinya dari dalam.
Padahal, kalau logika masih jalan dan hati masih jernih, kita tahu: membubarkan Polri bukan solusi, tapi tanda bahwa kita sedang kehilangan kesabaran dan sedikit kehilangan waras juga.
Penutup:
Tidak sepenuhnya yang saya sampaikan ini benar. Tapi jika ada yang benar dan bermanfaat, yakinlah itu datangnya semata dari Sang Maha Kuasa. Sisanya? Anggap saja sebagai vitamin akal sehat di tengah banjir wacana.
Peneliti CIE